Sabtu, 16 Januari 2010

kata 19

[sekar]

Aku hanya bengong, perasaanku tiba-tiba menjadi tidak nyaman dengan Erika. Tanggapannya dingin membuatku sakit hati. Dia seakan ingin menonjolkan dirinya, sekaligus ingin menyendiri. ”Uuuhh…kayak gini ini model manusia-manusia rapuh!” gumamku dalam hati.

Meskipun dia baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan – simpatiku berkurang setelah tadi seorang cowok belagu menolongnya – aku tidak tahu siapa yang bersalah dalam kejadian tadi. Tapi berlebihan rasanya reaksi mereka. Aku merasakan dia gembira, berhasil menjadi sang primadona. Dan aku sedih, sosok yang hari pertama begitu kudambakan sebagai teman yang bisa dijadikan sahabat – pupus sudah.

Aku menawarinya persahabatan. Dia tolak: dia malah terpukau si tukang jepret. Entah mengapa seumur hidupku baru kali ini jiwa berontakku timbul. Aku tak pernah ditolak. Aku ingat ucapan mama ketika menasehati aku menyangkut masalah percintaan dan persahabatan : Sekali kau ditolak atau pun menolak seseorang, jangan pernah kau berusaha menerimanya lagi!

Aku tidak ingin cepat pulang, sesuatu menahanku. Erika terus berjalan cepat menuju motornya. Aku ingin menguntitnya. Motornya nampak hitam mengkilap, dengan plat nomor yang jelas menunjukkan punya dia. AB 3121 KA. Jelas sudah dia orang yang suka menonjolkan dirinya, aku rasa dia memang narsis. Yah pokoknya, Erika punya kepribadian yang membuatku penasaran. Dalam lima menit, perasaan benci bercampur dengan rasa ingin tahu yang dalam.

Aku jadi teringat pagi tadi kutulis dalam diaryku, dan tidak kusangka terjadi juga apa yang kukhawatirkan:

Hihihi..aku masuk psikologi UGM, lagi masa-masa inisiasi…baru mau masuk hari kedua neh. Huaa..mo mati rasanya. Kerusuhan biasanya mulai memanas di hari ke-2 ini……selain Erika tidak ada yang membuatku lebih penasaran!!

(huuhhh…aneh terlalu mendramatisir banget..)

Angin mulai kencang menerpa Yogyakarta yang tampak mulai gelap. Aku agak cemas lantaran Erika berkali-kali menoleh ke belakang, seolah dia merasa kalau dikuntit. Dia berjarak empat motor di depanku, dan aku begitu antusias seolah mengejar cahaya purnama malam ini yang nyaris sempurna. Mendorongku melawan kegelapan dan keramaian yang memenuhi udara. Yamaha Vega punya abangku yang kini telah berganti menjadi kepunyaanku, merayap di permukaan aspal. Selama dua puluh menit lebih aku mengekornya tanpa tahu, kenapa? Tak ada gunanya menahan keinginanku ini dan tak perlu harus ada alasannya. Napasku serasa tak teratur saat aku seolah mengikuti jalur yang tiap hari kulewati dan makin kuteruskan makin dekat pula dengan rumahku sendiri. Rumah mungil muncul di kejauhan; rindang, lampu taman kuno dengan sinar sedikit redup, pagar kayu putih yang relatif rendah, hanya setinggi perut orang dewasa. Aneh seolah aku tak pernah tahu ada rumah seperti ini di sini. Waktu kala itu menunjukkan 19:00 tepat, minggu terakhir bulan Agustus tahun 2000. Kuanggap awal mula kegelisahanku, kelak aku menyesal telah menguntitnya.


Erika bergegas masuk ke dalam rumah. Namun hati kecilku menolak untuk segera meninggalkan pengintaianku. Cukup lama, kemudian kulihat Erika keluar dari rumah dan termenung duduk di antara beberapa kursi kayu di samping rumahnya, ia seolah terdampar dan membatu di situ. Kerapuhan yang kulihat, tak mampu ditutupinya yang begitu kontras meledak-ledak seperti siang tadi. Tak ada yang lebih buat aku heran, sebenarnya aku pun tak ingin menyaksikannya. Erika begitu cepat berubah dan menampilkan wajah penuh dendam, dan sesuatu yang baru kusadari wajahnya sembab. Walau agak remang-remang tapi aku masih bisa melihat sisa-sisa linangan air mata, ia tampak memikul beban sendirian. Tak mungkin untuk mendekatinya apalagi bicara padanya, aku hanya bengong kebingungan, rasa sakit hatiku berangsur-angsur hilang. Kenapa Erika mampu mengobok-obok perasaanku? Kemudian wajah sendunya itu menatap bulan, air matanya kembali menetes di pipinya. Aku pun menangis lalu segera menyelesaikan pengintaianku dengan pikiran aneh tak menentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar