Sabtu, 05 September 2009

kata 18

...perlahan lahan dibalutkannya handuk usang kesekujur tubuhnya yang menggigil kuyup, dengan langkah terseret menuju kursi didepan meja yang berkaca cermin buram ...dipandanginya lekat lekat raut wajah lelah dan sembab dari pantulan cermin, sejurus tatapannya berganti arah ke lengan bagian atas tangan kanannya, sebuah luka parut panjang melintang 5cm terlihat jelas menyerupai keloid merah...tatapannya nanar memperhatikan luka yang sudah bertahun tahun bercongkol di tubuhnya, luka lama yang sekarang terasa masih perih....

Erika usia 7 tahun

"Ibu..bermainlah denganku Bu, mari kita main boneka, Ibu pegang boneka putri salju ini dan aku pegang boneka barbienya..ya??", celoteh riang bocah kecil dengan bibir mungil merah jambu.
Wanita muda yang dipanggilnya Ibu tak menoleh barang sedetikpun, jari jemarinya sedang bergerak statis diatas tumpukan kertas berikut kalkulator disampingnya dengan serakan nota disekelilingnya.

gadis kecil beranjak lincah mendekati Ibunya dengan mengulurkan kedua boneka ditangannya.
"ayolah Ibu, bermainlah denganku", bujuknya dengan raut wajah merajuk.
masih tak menggubris ucapan itu, wanita itu terus berkutat dengan kegiatannya.

"Ibu..erika ingin bermain denganmu", kali ini gadis itu setengah memaksa meletakkan bonekanya ke pangkuan Ibunya sembari bergelayut manja.

"Hentikan erika!kamu tidak lihat Ibu sedang sibuk??!!bermainlah sendiri!atau pergilah temui teman temanmu, Ibu tidak mau!!", sanggah wanita itu sembari menghalau gadis kecilnya menjauh.

"Ibuu..erika ingin bermain dengan Ibu, aku tidak suka bermain dengan teman teman, mereka nakal, mereka selalu merusakkan mainanku, mereka selalu menggangguku dan memperolokku, mereka bilang aku anak yang manja dan merepotkan, aku tidak suka dengan mereka Ibu..", kali ini intonasi suaranya mulai melengking dan bergetar seperti siap siap untuk menangis.

Situasi mulai menegang, wanita itu mulai gusar mendengar rengekan anaknya.
"Kamu semakin menjengkelkanku erika!!berhenti mengganggu Ibu, kamu pikir Ibu punya banyak waktu untuk bermain denganmu!bermainlah sendiri!!kalau kamu tidak suka temanmu ,ya sudah tidak usah bermain dengan mereka, bermainlah dengan bonekamu sendiri dikamarmu, Ibu pusing!!", sembari berteriak wanita itu menghempaskan tubuh mungil anaknya ke arah lantai, tak ayal terpelantinglah bocah rapuh itu.

Tangisan kencang keluar dari mulut si bocah memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya, wanita itu terhenyak terkejut tidak menyangka gerakannya yang tak seberapa menyebabkan anaknya terhempas keras di ubin dingin ruang kerjanya. dalam sepersekian detik dia kembali dikuasai emosi, mengalahkan suara tangis si bocah dia berkata; "kamu sama saja dengan Ayahmu!!anak sialan!!kalian terlalu egois, kalian hanya memikirkan diri sendiri semua adalah kemauanmu dan kemauanmu lah yang utama!!Ibu tak perduli, menangislah kamu sekencangmu, pergi ke kamarmu!!menangislah sepuasnya disana, Ibu muak mendengar tangisanmu!!cepat sana!!atau Ibu pukul kamu dan Ibu bakar bonekamu!".

Demi melihat kemarahan Ibunya gadis kecil itu beringsut beranjak dari lantai, wajahnya begitu mengiba dan ketakutan, bonekanya adalah kesayangannya, dia tidak mau harta berharganya itu dibakar. Dengan menahan isak tangis dan sakit pada tubuhnya dia cepat cepat pergi menuju kamarnya, dia berpikir setidaknya disana dia aman, setidaknya Ibunya tidak akan semakin marah dan melaksanakan ancamannya. Ibunya sering sekali marah, dia merasa kesepian dengan penolakan dari Ibunya, dia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi, dia hanya merasa Ibunya begitu dingin dan membencinya dengan alasan yang tidak dia ketahui, semakin hari dia semakin takut.

blam!ditutupnya pintu kamar kemudian duduklah dia di kasur mungilnya, "kamu putri sialan.kamu tidak tahu diri!,kamu sama seperti Ayahmu" bisiknya seraya memukulkan boneka barbienya ke arah boneka putri salju, terus menerus kalimat itu meluncur dari bibir mungilnya dengan gerakan memukul berulang ulang terus terus hingga tangannya sakit dan bonekanya mulai rusak. Boneka kesayangannya, hartanya yang paling berharga, mulai terlihat hampir patah terburai dimana mana. Dia tidak bisa menghentikan gerakannya, dia mulai sadar bonekanya hampir hancur, tapi dia tak bisa berhenti.sorot matanya kosong.


Erika usia 8 tahun

"Mana Erika, seharian ini aku belum melihatnya.berikan nasinya, aku sudah lapar sekali!", ujar lelaki paruh baya berwajah keras penuh wibawa, jelas dia seorang yang sangat berkarisma, perkataan yang keluar lugas tegas dari mulutnya menunjukkan kekuasaan, ucapannya terdengar seperti sabda yang tak terbantahkan.

"tadi kusuruh dia tidur siang sepulang sekolah, kasihan dia kecapekan sepertinya", jawab lawan bicaranya, seorang wanita muda dengan tutur kata lembut dan lirih. Antara hormat, segan dan takut tercermin dari tindak tanduknya seraya menyiapkan nasi diatas piring beserta lauk untuk suaminya.

"Jangan sampai anakku jatuh sakit, jagalah gadis kecilku baik baik, itu tugasmu sebagai Ibu rumah tangga yang baik, tidak sulit bukan. pastikan nanti kalau erika bangun, beri dia makan, aku tidak mau anakku kurus seperti cacingan.Anakku harus sehat dan gizinya terpenuhi, kamu pahamkan?!", lanjut lelaki itu ditengah kesibukannya mengunyah makanan. Dengan terburu buru dia pergi karena dia harus kembali lagi melanjutkan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga diluar. Dia hanya tahu tugas rumah beres, dia tidak bisa melihat rumahnya berantakan, tidak bisa dilihatnya istrinya tidak becus mengurus rumah, bukankah itu tugas perempuan sebagai Ibu rumah tangga. Yang dia tahu tugasnya adalah mencari nafkah, memastikan semua berjalan sesuai dengan keinginannya. Rapi, teratur dan ideal.

Sepeninggal lelaki itu, istrinya membereskan piring dari meja makan dan membersihkannya dengan raut wajah datar, seakan akan semua sudah otomatis dan terprogam dengan baik. Dilihat sekeliling ruangan itu, dia harus memastikan tidak ada secuilpun yang tidak pada tempatnya, akan fatal akibatnya kalau sampai ada yang tidak teratur dan rapi bersih dirumah ini.
Setelah memastikan semua beres, wanita itu beranjak ke kamar tidur anaknya yang ada di ruang tengah. Dibukanya pintu kamar, dilihatnya gadis kecilnya sedang tertidur dengan memeluk boneka rusak kesayangannya, wajahnya begitu damai dalam lelapnya.

"erika bangun,kamu tidur terlalu lama, jangan jadi pemalas!", dengan gerakan kasar dia membangunkan gadis itu.

"uuuuummm....Ibu?", masih dengan mata ngantuk gadis itu bergerak menggeliat, badannya penuh keringat, suhu dikamar saat itu sedang panas.

"bangun kamu, sana makan, ambil didapur dan cuci piring kotormu sehabis kamu pakai", perintah wanita itu sambil bergerak hendak keluar menuju pintu kamar.

"Aku masih mengantuk Ibu..ijinkan aku tidur sebentar lagi", rengek gadis itu pada Ibunya, yang sepertinya tidak mendengarkan suara bernada mengantuk itu.

Beberapa menit sudah berlalu dan gadis kecil itu belum juga beranjak dari peraduannya, matanya sudah terbuka namun masih merah menandakan tidurnya yang terusik sebelum waktunya. Tiba tiba teriak mulai terdengar dari arah ruang kerja Ibunya, "Sudah kamu laksanakan tugasmu Erika!!??cepat selesaikan!!lambat sekali kamu, dasar lelet!!".
Mendengar teriakan Ibunya, serta merta gadis itu menegakkan tubuhnya dengan panik dan bergetar, dari nada bicara Ibunya, sepertinya suasana hatinya sedang buruk. Cepat cepat dia turun dari kasur, terlambat, Ibunya sudah ada dihadapan dengan mengacak pinggang dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia sudah gusar sekali. Diseretnya dengan kasar tangan gadis kecil itu seraya menghardik, "Kamu memang benar benar bodoh dan pembangkang, berapa kali harus Ibu bilang sampai kamu mau bergerak pemalas!!".

Dalam diam dan ketakutan gadis kecil itu terseok seok lemah diseret oleh wanita itu. Dihempaskannya tubuh kecil itu di dapur, "cepat makan!!Ibu tidak punya waktu mengurusmu seharian anak manja!!cuci piring itu setelahnya!awas kalau dalam 15 menit kamu masih belum selesai, Ibu banyak urusan, Ibu tidak akan menungguimu!",sambil berlalu dengan gusar wanita itu masih merepetkan kata kata yang mulai sayup sayup ditelinga gadis kecil itu.

Dinyalakan keran air itu dengan tangan kecilnya, perlahan lahan canggung di usapkan saput sabun di piring bekas pakai, dia melakukannya dengan hati hati, licin sekali piring itu, saat gerakannya mulai stabil tiba tiba piring itu tergelincir dengan mulus dari tangannya, prangg!! mendarat menjadi beberapa bagian dilantai dapur. Terkesiap dan terkejut dia menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menguasai pikirannya.
Dengan tergopoh gopoh wanita itu mendatangi dapur dari mana asal suara itu, terlihat anaknya berjongkok disamping pecahan piring dengan mata terbelalak tapi kosong. Kesabarannya sudah habis, seharian berkutat dengan pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai ditambah lagi dengan ketidak becusan anak itu yang terlalu sering ceroboh kemarahannya memuncak.

Gadis itu melihat kemarahan Ibunya, dia diam bergetar tanpa berani bergerak, dia ingin berlari tapi kakinya terlalu lemah untuk digerakkan, sedemikian rupa ketakutan terpancar dari kedua bola matanya, wajahnya meringis mengiba. "maafkan aku Ibu, tanganku licin, maaf Ibu",ujar gadis itu dengan menahan isak.

Dalam gerakan cepat wanita itu mengambil apapun yang ada didekatnya, emosi menggelapkan matanya, seakan akan semua beban hidupnya menyeruak memaksa keluar tanpa mampu dikendalikan, tongkat sapu yang berhasil diraihnya serta merta diarahkan ketubuh gadis kecil itu dengan gerakan yang mantap.
Tanpa sempat menghindari tak ayal mendaratlah gagang sapu itu di tubuh kecilnya, sekali, dua kali, tubuhnya menegang, hentakan sakit seketika menjalar cepat, refleknya hanya mampu menghantarkan jeritnya diantara tangis dan permohonan ampun atas kesalahannya. Bilur bilur mulai tampak di lengan, paha dan tubuh kecilnya, sakit, panas, gadis itu merintih dengan suara yang hampir habis dari teriakannya yang terus menerus. Wanita itu tak menggubrisnya, dengan sorot mata dingin dilemparkan gagang sapu itu ke tubuh anaknya, dia melakukan dalam diam namun dipenuhi aura kemarahan, tubuhnya berpeluh, tangannya pegal, lalu dia beranjak pergi masih dengan diam namun ekspresi wajahnya mulai melunak, wanita itu hilang masuk kedalam ruang kerjanya.

Sambil terus menangis terisak isak gadis kecil itu membereskan pecahan piring dilantai, badannya terasa kaku, hingga sisa waktu itu dihabiskannya dengan menangis dalam kamar, sampai dia tertidur kelelahan.

"badanku sakit semua, perih, aku takut....maafkan aku...ampun...ampuni aku", sambil bergumam, dia meringkuk menahan sakit, badannya panas, biru biru dan merah berbaur menjadi satu membentuk motif yang tidak lazim ditubuh kecilnya.


Erika usia 10 tahun

Dilihatnya luka menganga di tangan kanannya, bengkak dan masih mengeluarkan darah. Dalam diam dia meringis menahan perih lukanya. Terduduk di depan mejanya, dia menerawangkan mata memandang jauh ke arah luar melalui jendela. Masih teringat dengan jelas kejadian 2 hari lalu, saat lagi lagi kemarahan Ibunya mendarat padanya.

Dia sedang bermain lompat tali diteras depan, sore itu sedang cerah, Ibunya sedang menyiram tanaman. Sambil bersenandung dia melompat lincah diantara tali karet yang dia ikatkan antara tiang rumah dengan kusen jendelanya. teras yang basah terkena cipratan air dari gayung ibunya rupanya membawa petak, tanpa disadari bahaya itu dia tetap melompat dengan riangnya, Gubrakkk..karena terpeleset dia jatuh, kakinya mengenai pot bunga yang berada diatas meja semen disamping taman kecil Ibunya.Pot itu terlempar berhamburan, Ibunya yang berada tak jauh dari tempat itu menjerit terkejut, belum juga dia bangun dari jatuhnya, wanita itu sudah mendatanginya seraya menjewer telingannya, "anak bandel!!apalagi yang mau kamu hancurkan!!kamu pikir semua barang dirumah ini bisa kamu rusak seenaknya anak bodoh!!!, lantang Ibunya di telinganya.

"sakit Ibu..lepaskan tanganku..aduh", jerit gadis kecil itu.
Sanggahan dari anaknya semakin menyulut kemarahannya, sebelum sempat dia melakukan apapun anak itu sudah bangkit dari jatuhnya dan beringsut menjauh darinya. Ditatapnya wajah Ibunya dengan tatapan takut sekaligus tersirat sedikit cahaya mata menantang.
"Dasar anak kurang ajar, kamu mau melawan Ibumu!!sini kamu anak bandel, kamu harus di beri pelajaran!", dengan terengah engah Ibunya berkata sembari berusaha meraih tangan anaknya.

Tak bergeming dari tempatnya berada anak itu masih menatapnya dengan pandangan yang sama. Dalam genggaman tangan kecilnya ada sebuah batu kecil yang sempat dia raih saat dia hendak bangun tadi. Tubuhnya bergetar, pandangannya nanar, antara keraguan dan keberanian berkecamuk di pikirannya. Naluri membela dirinya bangkit.

Wanita muda itu bersiap memukulkan tangan ke arah anaknya, kejadiannya begitu cepat, tanpa sempat menghindar dan menyadari apa yang akan menimpanya sebuah lemparan kerikil mendarat diwajahnya dengan keras. Tertegun sejenak sembari memegang wajahnya yang terasa panas, lalu kemudian dalam sepersekian detik kemarahannya meledak.

Dengan ekspresi penuh kebencian gadis kecil itu menerima pukulan bertubi tubi di muka, kepala dan badannya. Hakekat kasih sayang antara Ibu dan anak lenyap sekejab saat itu, Wanita dengan kemarahannya dan gadis kecil dengan kebenciannya. Gadis kecil itu tidak lagi menangis, tidak lagi menjerit memohon ampun, dia menerima pukulan itu dalam diam, bahkan pada saat dia terjatuh dan tangannya mengenai gunting tanaman disitu sehingga menyebabkan luka robek di tangannya, darah mengalir keluar dengan deras, dia hanya diam kosong menatap tetesan darahnya. Wanita itu terkejut dan menghentikan semua kebrutalannya, darah yang mengalir dari tangan anaknya menyadarkan dia dari kesetanan. Cepat cepat diraih anak itu dalam pelukannya dan dibalutnya luka itu menggunakan kain kasa, diobatinya luka itu dalam kesunyian. Tidak ada kalimat penyesalan maupun isak tangis, namun terlihat penyesalan yang cukup di sorot mata wanita itu. Dalam kesunyian semua berlalu seperti tidak terjadi apa apa.

Kali ini semua diterimanya tanpa ada pertanyaan, tanpa ada air mata, tanpa ada penyesalan. Diusapnya luka itu, dalam benaknya muncul janji pada dirinya sendiri "Luka ini akan jadi saksi hidupku, Luka ini takkan pernah sembuh, Luka ini ada untuk mengingatkanku", dan kelak dikemudian hari bekas luka itu akan menjadi muara luka batinnya.


Erika 11 tahun

Pelajaran sedang berlangsung, seperti anak yang lainnya erika mengikuti pelajaran dengan kidmat. Dia sedang membuat rangkuman yang ditugaskan wali kelasnya kepada semua murid kelas. wali kelas itu sedang berjalan berkeliling mengawasi dan mengamati murid muridnya mencatat, langkahnya terhenti di meja seorang gadis saat dia melihat ada sesuatu yang cukup menarik perhatian ekor matanya,untuk mendekat melihat dengan jelas, dilihatnya bekas luka cukup lebar menonjol putih ditangan yang sedang bergerak lincah diatas buku tulis.
"Loh ini kenapa, kamu jatuh?",
Sembari diusapkan tangannya diatas bekas luka gadis itu.
"Kenapa sampai berbekas seperti ini??sayang sekali, kenapa tidak dijahit?setidaknya agar bekasnya bisa tersamarkan", wali kelas itu berkata dengan penuh kasih sayang.

Gadis itu hanya menggeleng dan menarik tangannya cepat cepat. Sentuhan lembut pada tangannya membangkitkan kerinduannya pada kasih sayang Ibunya sendiri, kasih sayang yang pernah dia nikmati dari awal dia lahir hingga 7 tahun sesudahnya, Dia sudah belajar melupakan kasih sayang itu. Sebuah percikan menghentak kecil di relung hatinya, dia merasakan matanya panas, "permisi bu, saya ijin sebentar kekamar mandi".

"baiklah, silahkan", tukas wali kelasnya.

Sambil berlari dia menuju kamar mandi dibelakang sekolahnya. Kepedihan yang seharusnya keluar setahun yang lalu, air mata yang seharusnya mengalir di hari kejadian itu, tumpah ruah dalam sekejab. dinding pertahanannya jebol seketika, dia masih merasakan sakit yang sama di relung hatinya, bahkan dia masih merasakan perih yang sama di luka itu. Dia menangis terus menerus tanpa berhenti, air mata penghabisan pada hari itu, air mata yang dia simpan setahun yang lalu, segenap jiwanya menangis pilu seperti binatang yang terluka.kali ini dia membiarkan kesedihan menang atas dirinya, kali ini dia membiarkan hatinya menuntaskan apa yang dia tahan rapat rapat selama ini, saat ini dia hanyalah seorang anak kecil polos dengan segala kebersihan hatinya yang dipaksa berada pada kehidupan yang sungguh terasa tidak adil baginya, dan dia belum mampu bertindak apapun atas ketidak adilan itu.Dia dipaksa menerima kepahitan hati yang seharusnya belum saatnya hadir di hari harinya. Sentuhan penuh kasih sayang tadi mengingatkan kerapuhan hatinya, betapa amat sangat dia merindukan kehangatan yang pernah dia rasakan dari seorang yang sangat dia cintai, dari seorang yang pernah menampungnya 9 bulan dalam rahim, dari seseorang yang meneteskan air susu kepadanya, mengalirkan darah kepadanya, memberikan nafas kehidupan untuknya, seseorang yang dia panggil Ibu.

Dia telah belajar mengingkari kerinduannya...dia telah belajar membatukan nurani...dia belajar tuk mampu memantapkan langkah kecilnya di dunia ini...dia yang begitu rapuh namun masih mampu mengumpulkan sisa sisa tenaga untuk tegar dalam kebisuan...dia belajar menangis tanpa mengeluarkan air mata...sayang, terlewatkan olehnya bahwa ia hanya anak manusia semata dengan segala keterbatasan....tetapi dia belajar untuk melupakan keterbatasannya..dia sedang ditempa untuk menjadi tangguh




1 komentar:

  1. Berangkat dari Kata 10, saya mencoba menguatkan karakter erika, menjabarkan sedikit alasan kenapa erika berkarakter seperti itu. Saya coba tampilkan sepenggal kisah erika di tahun tahun pembentukan kepribadiannya. sori kalo agak lompat2 alurnya.semoga intinya bisa kebaca.

    BalasHapus