Rabu, 02 September 2009

Kata14

Pertengahan tahun 1979

Ini adalah siang saat Galuh merasa sesuatu yang benar-benar tak terduga ; tangannya dipegang oleh seorang lelaki. Keinginan Hantu Siang yang tak bisa diperhitungkan.

****

Galuh hidup di kampung, dimana burung-burung sering berlalu-lalang di langitnya. Tidak jarang mereka membentuk formasi huruf V, seolah membawa pesan kejayaan, pesona kerinduan untuk membawa seluruh penduduk kampung melihat ke atas. Melihat jejak-jejak layangan hidup yang tangguh, rasanya burung-burung itu tak ingin melihat penduduk kampungnya hidup dengan rendah diri.

Tapi bagi Galuh, ia lebih menikmati kehadiran Elang Jawa yang kerap datang sendiri. Ia hafal betul, elang yang sering hinggap di pohon sukun depan rumahnya – adalah selalu elang yang sama. Dapat dilihatnya dengan jelas elang tersebut bertubuh sedang, langsing, dengan panjang tubuh antara 60-70 cm. Kepala berwarna coklat kemerahan, dengan jambul yang tinggi menonjol dan tengkuk yang coklat kekuningan. Jambul hitam dengan ujung putih; mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Yang paling menonjol bagi Galuh adalah iris mata elang tersebut kuning keemasan seolah menyala terang bagai matahari.

Kehadirannya selalu diiringi bunyi kli-kli-kli-kli-kli. Berulang-ulang dengan nada yang nyaring dan cepat, suaranya membuat Galuh merinding – memberi hawa mistis. Tapi kini tiga minggu telah lewat tak nampak kehadirannya – sang burung mungkin berlindung dari cuaca yang kurang bersahabat. Sudah berminggu-minggu hujan membasahi kampungnya. Begitu pun Galuh dengan alasan hujan, terus menghindari beberapa laki-laki yang ingin memperoleh cintanya. Lebih tepatnya mereka saling sikut dan ingin menghadang cinta Sang Pujaan. Galuh muak!! Galuh selalu menyentuh dadanya ingin tahu apakah jantungnya menimbulkan respon pada setiap lelaki yang mendekatinya. Kenyataannya hampir tak ada detak, tidak satu laki-laki yang mampu memberinya rasa penasaran. Apalagi jatuh cinta.

Wanita ini adalah tulang punggung keluarga. Deras hujan yang terburu-buru seolah mengiyakan Galuh harus melakoni peran itu sesegera mungkin. Kegelisahan yang ternyata menelusuk hingga neuron[1], kabel-kabel syaraf itu menegang membuatnya di antara bimbang dan menggebu. Tawa miris. Giginya memainkan ujung bibir lalu digigitnya, seakan semuanya begitu cepat harus dibebankan padanya. Darah menyembul dengan segera pula di permukaan bibir mungilnya.

Rasa ingin memiliki kekasih selalu lenyap melihat penderitaan keluarganya yang selalu hidup serba kekurangan. Membuat gadis asal Donoharjo Ngaglik Sleman bertekad mengangkat keluarganya dari kemiskinan, baru berpikir untuk jatuh cinta.

Hujan reda pagi itu, setelah semalaman tak kunjung henti. Aroma tanah basah menyegarkan sendi-sendi indra penciuman. Membawa Galuh bangkit mencium harapan. Terganggu kejenuhan berdiam di rumah, Galuh tak ingin berlama-lama menyepi di kamar. Semangatnya mengalir menuju Yogyakarta – kota yang dulu memberinya kesempatan mengeyam bangku SMP.

Sepeda ontelnya pun segera dikayuh, melesat bagai anak panah. Jalanan di pagi hari masih lengang, kaki-kaki mungil itu bergerak lincah beradu dengan pedal. Sambil mengayuh sepeda dia tertawa gembira! "Kring kring kriiiing," Sering kali mulutnya bersuara sebagai ganti klakson. Ia melaju dengan bahan bakar penuh – antusias yang tinggi.

Setelah hampir empat puluh lima menit Galuh memperlambat laju sepeda, ingin menikmati hembusan angin lebih lama. Angin menerbangkan rambutnya yang sebahu, dia merasakan sensasi dibelai. Terlihat senyuman bahagia seolah wanita yang sedang jatuh cinta, pikiran aneh merasuk dalam pikirannya, ”Sejak saat ini siapa pun laki-laki yang datang dalam kehidupanku seperti angin, aku akan memilihnya.”

Dia melewati pohon-pohon sawo kecik yang rindang, aspal mulai mengering. Bendera merah putih mulai terpasang di rumah-rumah penduduk dan perkantoran dengan ketinggian tiang yang berbeda-beda, seakan menyambutnya. Di pinggir jalan, kerumunan anak sekolah menunggu angkutan untuk membawa mereka ke tempat menimba ilmu mereka masing-masing. Galuh terpana oleh wajah anak-anak kecil itu yang sumringah dan penuh canda, oleh hangatnya jiwa muda penuh keluguan – ahh, tidak saja muda masih kuncup malah. Tepat di akhir deretan pohon, dia membelokkan sepedanya ke arah Jalan Kaliurang dan melaju terus ke selatan.

Kemarin Galuh menerima surat dari teman lamanya di SMP. Temannya ingin membantunya mendapatkan kerja di Jakarta. Teman yang sama pula yang dulu melunasi tunggakan SPP saat Galuh kebingungan harus melunasinya sebagai syarat ikut ujian akhir SMP. Galuh hampir melupakan sosok yang sangat berjasa baginya karena memang sudah sepuluh tahun tak sua, jika surat itu tak datang. Nama sahabatnya itu pun tak tercantum dalam surat, yang ada hanya panggilannya yakni hantu siang. Tidak begitu jelas kenapa temannya dulu dipanggil seperti itu, tapi akhirnya Galuh teringat bahwa nama aslinya berirama mirip yakni, Han Siong. Temannya itu begitu pintar dan teman-teman satu sekolah begitu kagum dan mungkin sirik.

Persahabatan mereka berdua memang aneh, selama di SMP bisa dihitung dengan jari mereka berdua bertemu muka. Mereka begitu rikuh bila harus bertemu dalam jarak dekat. Mereka tak pernah satu kelas, setiap jam istirahat mereka hanya saling memandang dari jauh. Bagi Galuh, komunikasi yang tepat di antara mereka adalah surat. Galuh teringat salah satu surat yang sampai padanya menjelang perpisahan SMP adalah keinginan Han Siong untuk ke Jakarta dan kelak ingin menjadi seorang arsitek. Dia terpesona oleh Mangunwijaya yang pernah datang ke sekolah mereka.

Penasaran Galuh memuncak ingin tahu kenapa Han Siong begitu peduli padanya, ingin bertemu dan menawarkan bantuan lagi. Sedang bagi orang-orang di kampungnya, ia hanya wanita malang tak laku dan sok jual tinggi. Matanya berkaca-kaca, luluh dengan baris kalimat terakhir surat Han : Maka marilah bersamaku, jangan menatap tanah lagi. Tetapi berjalanlah dengan ku, menengadah ke atas melihat halilintar menggelegar di atas kepala.

Bahkan Si Hantu Siang menambahkan;
NB : Membawa kau keluar dari kesepian.

****

Warung bakso itu kurang lebih 50 meter dari Plengkung Tarunasura ke arah selatan. Pintu gerbang kraton ini lebih sering didengar telinga sebagai Plengkung Wijilan. Persis di antara dua pohon beringin besar yang telah berumur ratusan tahun. Daun-daun rindangnya yang berjuntai dan akar yang bergulung seolah menambah kegelisahan Galuh menemui Han. Agak menjorok ke dalam dari jalan. Di depan tertulis, Bakso Mas nDagel, yang siang itu untuk mencari satu tempat kosong harus dengan bersusah payah.

Han telah menunggu, duduk di deretan paling belakang juga paling pojok. Tak ada wajah yang sebegitu bernyala-nyala, debur-debur hasrat nampak dari raut mukanya. Membaca raut itu justru membuat Galuh tak tenang seraya berpikir keras seperti yang sudah-sudah dan tak pernah mendapatkan jawaban, “Mengapa dia menunjukkan perhatian dan mengapa ingin menolongku?”

Galuh berjalan mendekati Han, melangkah dengan sedikit gundah. Dengan sedikit sengaja dibuatnya, seorang gadis muda yang rapuh. Galuh duduk di samping Han dan berkata, ”Han, apa benar kamu ingin menolongku?”

Kemudian Han memandangi Galuh, seakan dia memastikan suasana hati gadis di sampingnya itu. Han tersenyum, menunjukkan gigi putihnya yang rapi dan kemudian mengangguk. Han khawatir untuk bicara yang sejujurnya : aku ingin menolongmu demi kemanusiaan, tapi lebih dari itu …….aku mencintaimu!
Apa Galuh bisa mengerti?

”Jadi, anggukanmu itu …?”
Han tampak berpikir beberapa saat. ”Kau bisa membaca maksudku kan?”
”Ya ampun, kau pikir aku peramal….bicara saja lah, pertanyaanku sangat mudah.”
”Hmmm……iya sih. Tapi aku ingin menjawab lebih dari pertanyaanmu, tapi tidak mudah.”
“Walah..Han..Han, kita kan dah bukan anak SMP lagi. Iya kuanggap kau tulus menolongku. Kalau ada yang lebih, nanti kukembalikan deh,” canda Galuh. Kemudian seorang pelayan dengan ramah mengantarkan dua mangkuk bakso, menghentikan sementara obrolan mereka. Uap yang menari-nari keluar dari mangkuk seakan membenarkan warung bakso ini memang terkenal seantero Yogya. Menyajikan menu yang agak berbeda, bakso kupat. Rasa bakso dan kuahnya dengan lima buah glindingan racikan daging sapi. Mereka mulai meramunya dengan kecap, saos, sambal, dan jeruk nipis.

Han tersenyum. Galuh tahu betapa manis senyuman itu. Wajah Han menunjukkan kehangatan yang misterius.
”Aku pasti telah mengganggumu,” kata Han setelah mereka berpandangan sesaat.
“Tidak Han, justru aku yang selalu merepotkanmu,” Galuh menekankan. ”Apalagi sekarang aku memang butuh bantuanmu, kalau boleh tahu kerjaan apa yang kau tawarkan?”
Han masih dengan senyumnya, ”Apa kau mau bekerja di kantorku?”
”Jadi apa Han?”
”Gampanglah…pokoknya berangkat dulu ke Jakarta.”
”Jangan suka menggampangkan Han…belum tentu aku bisa bekerja seperti yang kau mau.”
”Jangan ngambek Luh. Aku tidak menggampangkan kok, seperti dalam suratku,” Han mencoba meyakinkan. ”Aku baru merintis sebuah konsultan. Aku butuh staf di kantorku.”
Galuh mengangkat bahu, “Aku hanya tamatan SMA, kan kau tahu itu.”
”Sudahlah percaya padaku. Kau cerdas. Kau pasti mampu.”

Han tidak memperhatikan kernyit di dahi Galuh. Galuh mencoba meraba-raba ke arah mana perkataan sahabatnya ini. Belum sempat Galuh berpikir lebih jauh, bagai hantu di siang bolong tangannya untuk pertama kali dipegang oleh seorang pria. Tak pernah ia menyangka. Keinginan Han menolongnya sekarang tak bisa ia perhitungkan.
”Apa maunya?” dalam hati ia berpikir.
Seolah Han tahu apa yang di benak Galuh, ia tampak tenang. Masih dengan menggenggam tangan Galuh. Ia berkata, ”Memberi tidak lagi karena mengharapkan imbalan, tetapi menjadi pemberian yang baik, kebaikan pemberian itu sendiri.”

__________
[1] Sel syaraf yang berfungsi menyalurkan rangsang syaraf dari dan ke organ-organ, terdiri dari badan sel dan dua macam tonjolan yang menjulur panjang, yaitu Dendrit, yang berfungsi menerima rangsang dari luar sel dan menyalurkannya ke dalam badan sel, dan Neurit yang berfungsi untuk menyalurkan rangsang ke luar dari badan sel.

3 komentar:

  1. maaf ya...aku balik lagi ke masa lalu. nyoba2 buat 'background', seandainya di kemudian wktu ga tlalu perlu..ntar diilangin.

    BalasHapus
  2. saking lamanya gak liat2 cerita ini, jadi meraba2 lagi siapa galuh....hehe... tp gpp kok, biar tau latar belakang sekar (bener kan?)

    eh iya, gak semua harus cerita bekgron ya, nanti malah cerita mundur jadinya :)

    nice story.

    BalasHapus
  3. hehhehe....galuh mihardjo...kayaknya ibunya erika (erika mihardjo).... jadi bukan ibunya sekar...

    BalasHapus