Sabtu, 02 Agustus 2014

Kata 20

[Erika]

Aku duduk di pojok taman rumah, di tempat aku suka melamunkan diri. Sayup terdengar suara televisi dari dalam rumah....dan aku tahu di luar pagar ada yang mengintaiku.

Tanganku tak kuasa membendung air mata yang sudah mengalir. Aku yakin ia yang selalu 'hinggap' di mimpiku dan selalu menjadi penolong telah hadir di kehidupanku. Bertahun-tahun  mimpi-mimpi liar itu datang, seringnya sehabis aku bertengkar dengan Ibu atau Bapak. Kini segalanya menjadi rumit, mungkin.. mungkin.. mungkin… Terlalu banyak kemungkinan merangsek masuk dalam kepalaku, tapi aku yakin dengan tatapan dan gaya itu. Walau dalam mimpi ia seorang cowok, sedangkan kenyataannya....??

Aku telah duduk hampir satu jam, dan tampaknya tak ada yang mengintaiku lagi. Entah siapa dia? Aku tak peduli. Aku beranjak masuk ke dalam kamar, kuambil pena, kugoreskan satu kalimat......

S....lelakiku dalam mimpi, ternyata cinta itu menyakitkan!

Lalu kutambahkan, sesuatu yang mengalir begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya :


Harusnya aku tak usah dilahirkan, hampir tidak ada kebahagiaan yang kucicipi dengan Lupus dan Endometrioma yang bersarang di tubuhku. Dan kini aku meyakini rasa-rasanya Schizophrenia pun turut serta...

Kamis, 14 Maret 2013

prolog

Kita (sedang) mati suri kawan

Segera kita kembali semoga

Semoga

Rindu itu memampukan kita tuk

Menarikan kembali jemari dan imajinasi

Kita tau walaupun tak kau beritahu

Kau selalu menunggu

Tunggulah sebentar lagi

Kita bukan mati

Kita hanya (sedang) mati suri

prolog


Pesonamu masih ada
Terkunci rapat dipintu hati
Diambang mimpi
Ada dan tiada
Masih sesekalikah namaku tergaung di batinmu?

Apa kabar semesta?
Sedetik terbangun dari tidur panjangku
Rindu bermain kata
Sedikit tergugah untuk bercerita (lagi)
Tetapi sepertinya benang merah sedang terburai
Untuk menjalinnya menurutnya satu persatu seperti akan memakan waktu yang cukup lama
Semoga aku masih punya waktu tuk itu
Ah...aku rindu kalian
Salam

Sabtu, 16 Januari 2010

kata 19

[sekar]

Aku hanya bengong, perasaanku tiba-tiba menjadi tidak nyaman dengan Erika. Tanggapannya dingin membuatku sakit hati. Dia seakan ingin menonjolkan dirinya, sekaligus ingin menyendiri. ”Uuuhh…kayak gini ini model manusia-manusia rapuh!” gumamku dalam hati.

Meskipun dia baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan – simpatiku berkurang setelah tadi seorang cowok belagu menolongnya – aku tidak tahu siapa yang bersalah dalam kejadian tadi. Tapi berlebihan rasanya reaksi mereka. Aku merasakan dia gembira, berhasil menjadi sang primadona. Dan aku sedih, sosok yang hari pertama begitu kudambakan sebagai teman yang bisa dijadikan sahabat – pupus sudah.

Aku menawarinya persahabatan. Dia tolak: dia malah terpukau si tukang jepret. Entah mengapa seumur hidupku baru kali ini jiwa berontakku timbul. Aku tak pernah ditolak. Aku ingat ucapan mama ketika menasehati aku menyangkut masalah percintaan dan persahabatan : Sekali kau ditolak atau pun menolak seseorang, jangan pernah kau berusaha menerimanya lagi!

Aku tidak ingin cepat pulang, sesuatu menahanku. Erika terus berjalan cepat menuju motornya. Aku ingin menguntitnya. Motornya nampak hitam mengkilap, dengan plat nomor yang jelas menunjukkan punya dia. AB 3121 KA. Jelas sudah dia orang yang suka menonjolkan dirinya, aku rasa dia memang narsis. Yah pokoknya, Erika punya kepribadian yang membuatku penasaran. Dalam lima menit, perasaan benci bercampur dengan rasa ingin tahu yang dalam.

Aku jadi teringat pagi tadi kutulis dalam diaryku, dan tidak kusangka terjadi juga apa yang kukhawatirkan:

Hihihi..aku masuk psikologi UGM, lagi masa-masa inisiasi…baru mau masuk hari kedua neh. Huaa..mo mati rasanya. Kerusuhan biasanya mulai memanas di hari ke-2 ini……selain Erika tidak ada yang membuatku lebih penasaran!!

(huuhhh…aneh terlalu mendramatisir banget..)

Angin mulai kencang menerpa Yogyakarta yang tampak mulai gelap. Aku agak cemas lantaran Erika berkali-kali menoleh ke belakang, seolah dia merasa kalau dikuntit. Dia berjarak empat motor di depanku, dan aku begitu antusias seolah mengejar cahaya purnama malam ini yang nyaris sempurna. Mendorongku melawan kegelapan dan keramaian yang memenuhi udara. Yamaha Vega punya abangku yang kini telah berganti menjadi kepunyaanku, merayap di permukaan aspal. Selama dua puluh menit lebih aku mengekornya tanpa tahu, kenapa? Tak ada gunanya menahan keinginanku ini dan tak perlu harus ada alasannya. Napasku serasa tak teratur saat aku seolah mengikuti jalur yang tiap hari kulewati dan makin kuteruskan makin dekat pula dengan rumahku sendiri. Rumah mungil muncul di kejauhan; rindang, lampu taman kuno dengan sinar sedikit redup, pagar kayu putih yang relatif rendah, hanya setinggi perut orang dewasa. Aneh seolah aku tak pernah tahu ada rumah seperti ini di sini. Waktu kala itu menunjukkan 19:00 tepat, minggu terakhir bulan Agustus tahun 2000. Kuanggap awal mula kegelisahanku, kelak aku menyesal telah menguntitnya.


Erika bergegas masuk ke dalam rumah. Namun hati kecilku menolak untuk segera meninggalkan pengintaianku. Cukup lama, kemudian kulihat Erika keluar dari rumah dan termenung duduk di antara beberapa kursi kayu di samping rumahnya, ia seolah terdampar dan membatu di situ. Kerapuhan yang kulihat, tak mampu ditutupinya yang begitu kontras meledak-ledak seperti siang tadi. Tak ada yang lebih buat aku heran, sebenarnya aku pun tak ingin menyaksikannya. Erika begitu cepat berubah dan menampilkan wajah penuh dendam, dan sesuatu yang baru kusadari wajahnya sembab. Walau agak remang-remang tapi aku masih bisa melihat sisa-sisa linangan air mata, ia tampak memikul beban sendirian. Tak mungkin untuk mendekatinya apalagi bicara padanya, aku hanya bengong kebingungan, rasa sakit hatiku berangsur-angsur hilang. Kenapa Erika mampu mengobok-obok perasaanku? Kemudian wajah sendunya itu menatap bulan, air matanya kembali menetes di pipinya. Aku pun menangis lalu segera menyelesaikan pengintaianku dengan pikiran aneh tak menentu.

Sabtu, 05 September 2009

kata 18

...perlahan lahan dibalutkannya handuk usang kesekujur tubuhnya yang menggigil kuyup, dengan langkah terseret menuju kursi didepan meja yang berkaca cermin buram ...dipandanginya lekat lekat raut wajah lelah dan sembab dari pantulan cermin, sejurus tatapannya berganti arah ke lengan bagian atas tangan kanannya, sebuah luka parut panjang melintang 5cm terlihat jelas menyerupai keloid merah...tatapannya nanar memperhatikan luka yang sudah bertahun tahun bercongkol di tubuhnya, luka lama yang sekarang terasa masih perih....

Erika usia 7 tahun

"Ibu..bermainlah denganku Bu, mari kita main boneka, Ibu pegang boneka putri salju ini dan aku pegang boneka barbienya..ya??", celoteh riang bocah kecil dengan bibir mungil merah jambu.
Wanita muda yang dipanggilnya Ibu tak menoleh barang sedetikpun, jari jemarinya sedang bergerak statis diatas tumpukan kertas berikut kalkulator disampingnya dengan serakan nota disekelilingnya.

gadis kecil beranjak lincah mendekati Ibunya dengan mengulurkan kedua boneka ditangannya.
"ayolah Ibu, bermainlah denganku", bujuknya dengan raut wajah merajuk.
masih tak menggubris ucapan itu, wanita itu terus berkutat dengan kegiatannya.

"Ibu..erika ingin bermain denganmu", kali ini gadis itu setengah memaksa meletakkan bonekanya ke pangkuan Ibunya sembari bergelayut manja.

"Hentikan erika!kamu tidak lihat Ibu sedang sibuk??!!bermainlah sendiri!atau pergilah temui teman temanmu, Ibu tidak mau!!", sanggah wanita itu sembari menghalau gadis kecilnya menjauh.

"Ibuu..erika ingin bermain dengan Ibu, aku tidak suka bermain dengan teman teman, mereka nakal, mereka selalu merusakkan mainanku, mereka selalu menggangguku dan memperolokku, mereka bilang aku anak yang manja dan merepotkan, aku tidak suka dengan mereka Ibu..", kali ini intonasi suaranya mulai melengking dan bergetar seperti siap siap untuk menangis.

Situasi mulai menegang, wanita itu mulai gusar mendengar rengekan anaknya.
"Kamu semakin menjengkelkanku erika!!berhenti mengganggu Ibu, kamu pikir Ibu punya banyak waktu untuk bermain denganmu!bermainlah sendiri!!kalau kamu tidak suka temanmu ,ya sudah tidak usah bermain dengan mereka, bermainlah dengan bonekamu sendiri dikamarmu, Ibu pusing!!", sembari berteriak wanita itu menghempaskan tubuh mungil anaknya ke arah lantai, tak ayal terpelantinglah bocah rapuh itu.

Tangisan kencang keluar dari mulut si bocah memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya, wanita itu terhenyak terkejut tidak menyangka gerakannya yang tak seberapa menyebabkan anaknya terhempas keras di ubin dingin ruang kerjanya. dalam sepersekian detik dia kembali dikuasai emosi, mengalahkan suara tangis si bocah dia berkata; "kamu sama saja dengan Ayahmu!!anak sialan!!kalian terlalu egois, kalian hanya memikirkan diri sendiri semua adalah kemauanmu dan kemauanmu lah yang utama!!Ibu tak perduli, menangislah kamu sekencangmu, pergi ke kamarmu!!menangislah sepuasnya disana, Ibu muak mendengar tangisanmu!!cepat sana!!atau Ibu pukul kamu dan Ibu bakar bonekamu!".

Demi melihat kemarahan Ibunya gadis kecil itu beringsut beranjak dari lantai, wajahnya begitu mengiba dan ketakutan, bonekanya adalah kesayangannya, dia tidak mau harta berharganya itu dibakar. Dengan menahan isak tangis dan sakit pada tubuhnya dia cepat cepat pergi menuju kamarnya, dia berpikir setidaknya disana dia aman, setidaknya Ibunya tidak akan semakin marah dan melaksanakan ancamannya. Ibunya sering sekali marah, dia merasa kesepian dengan penolakan dari Ibunya, dia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi, dia hanya merasa Ibunya begitu dingin dan membencinya dengan alasan yang tidak dia ketahui, semakin hari dia semakin takut.

blam!ditutupnya pintu kamar kemudian duduklah dia di kasur mungilnya, "kamu putri sialan.kamu tidak tahu diri!,kamu sama seperti Ayahmu" bisiknya seraya memukulkan boneka barbienya ke arah boneka putri salju, terus menerus kalimat itu meluncur dari bibir mungilnya dengan gerakan memukul berulang ulang terus terus hingga tangannya sakit dan bonekanya mulai rusak. Boneka kesayangannya, hartanya yang paling berharga, mulai terlihat hampir patah terburai dimana mana. Dia tidak bisa menghentikan gerakannya, dia mulai sadar bonekanya hampir hancur, tapi dia tak bisa berhenti.sorot matanya kosong.


Erika usia 8 tahun

"Mana Erika, seharian ini aku belum melihatnya.berikan nasinya, aku sudah lapar sekali!", ujar lelaki paruh baya berwajah keras penuh wibawa, jelas dia seorang yang sangat berkarisma, perkataan yang keluar lugas tegas dari mulutnya menunjukkan kekuasaan, ucapannya terdengar seperti sabda yang tak terbantahkan.

"tadi kusuruh dia tidur siang sepulang sekolah, kasihan dia kecapekan sepertinya", jawab lawan bicaranya, seorang wanita muda dengan tutur kata lembut dan lirih. Antara hormat, segan dan takut tercermin dari tindak tanduknya seraya menyiapkan nasi diatas piring beserta lauk untuk suaminya.

"Jangan sampai anakku jatuh sakit, jagalah gadis kecilku baik baik, itu tugasmu sebagai Ibu rumah tangga yang baik, tidak sulit bukan. pastikan nanti kalau erika bangun, beri dia makan, aku tidak mau anakku kurus seperti cacingan.Anakku harus sehat dan gizinya terpenuhi, kamu pahamkan?!", lanjut lelaki itu ditengah kesibukannya mengunyah makanan. Dengan terburu buru dia pergi karena dia harus kembali lagi melanjutkan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga diluar. Dia hanya tahu tugas rumah beres, dia tidak bisa melihat rumahnya berantakan, tidak bisa dilihatnya istrinya tidak becus mengurus rumah, bukankah itu tugas perempuan sebagai Ibu rumah tangga. Yang dia tahu tugasnya adalah mencari nafkah, memastikan semua berjalan sesuai dengan keinginannya. Rapi, teratur dan ideal.

Sepeninggal lelaki itu, istrinya membereskan piring dari meja makan dan membersihkannya dengan raut wajah datar, seakan akan semua sudah otomatis dan terprogam dengan baik. Dilihat sekeliling ruangan itu, dia harus memastikan tidak ada secuilpun yang tidak pada tempatnya, akan fatal akibatnya kalau sampai ada yang tidak teratur dan rapi bersih dirumah ini.
Setelah memastikan semua beres, wanita itu beranjak ke kamar tidur anaknya yang ada di ruang tengah. Dibukanya pintu kamar, dilihatnya gadis kecilnya sedang tertidur dengan memeluk boneka rusak kesayangannya, wajahnya begitu damai dalam lelapnya.

"erika bangun,kamu tidur terlalu lama, jangan jadi pemalas!", dengan gerakan kasar dia membangunkan gadis itu.

"uuuuummm....Ibu?", masih dengan mata ngantuk gadis itu bergerak menggeliat, badannya penuh keringat, suhu dikamar saat itu sedang panas.

"bangun kamu, sana makan, ambil didapur dan cuci piring kotormu sehabis kamu pakai", perintah wanita itu sambil bergerak hendak keluar menuju pintu kamar.

"Aku masih mengantuk Ibu..ijinkan aku tidur sebentar lagi", rengek gadis itu pada Ibunya, yang sepertinya tidak mendengarkan suara bernada mengantuk itu.

Beberapa menit sudah berlalu dan gadis kecil itu belum juga beranjak dari peraduannya, matanya sudah terbuka namun masih merah menandakan tidurnya yang terusik sebelum waktunya. Tiba tiba teriak mulai terdengar dari arah ruang kerja Ibunya, "Sudah kamu laksanakan tugasmu Erika!!??cepat selesaikan!!lambat sekali kamu, dasar lelet!!".
Mendengar teriakan Ibunya, serta merta gadis itu menegakkan tubuhnya dengan panik dan bergetar, dari nada bicara Ibunya, sepertinya suasana hatinya sedang buruk. Cepat cepat dia turun dari kasur, terlambat, Ibunya sudah ada dihadapan dengan mengacak pinggang dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia sudah gusar sekali. Diseretnya dengan kasar tangan gadis kecil itu seraya menghardik, "Kamu memang benar benar bodoh dan pembangkang, berapa kali harus Ibu bilang sampai kamu mau bergerak pemalas!!".

Dalam diam dan ketakutan gadis kecil itu terseok seok lemah diseret oleh wanita itu. Dihempaskannya tubuh kecil itu di dapur, "cepat makan!!Ibu tidak punya waktu mengurusmu seharian anak manja!!cuci piring itu setelahnya!awas kalau dalam 15 menit kamu masih belum selesai, Ibu banyak urusan, Ibu tidak akan menungguimu!",sambil berlalu dengan gusar wanita itu masih merepetkan kata kata yang mulai sayup sayup ditelinga gadis kecil itu.

Dinyalakan keran air itu dengan tangan kecilnya, perlahan lahan canggung di usapkan saput sabun di piring bekas pakai, dia melakukannya dengan hati hati, licin sekali piring itu, saat gerakannya mulai stabil tiba tiba piring itu tergelincir dengan mulus dari tangannya, prangg!! mendarat menjadi beberapa bagian dilantai dapur. Terkesiap dan terkejut dia menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menguasai pikirannya.
Dengan tergopoh gopoh wanita itu mendatangi dapur dari mana asal suara itu, terlihat anaknya berjongkok disamping pecahan piring dengan mata terbelalak tapi kosong. Kesabarannya sudah habis, seharian berkutat dengan pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai ditambah lagi dengan ketidak becusan anak itu yang terlalu sering ceroboh kemarahannya memuncak.

Gadis itu melihat kemarahan Ibunya, dia diam bergetar tanpa berani bergerak, dia ingin berlari tapi kakinya terlalu lemah untuk digerakkan, sedemikian rupa ketakutan terpancar dari kedua bola matanya, wajahnya meringis mengiba. "maafkan aku Ibu, tanganku licin, maaf Ibu",ujar gadis itu dengan menahan isak.

Dalam gerakan cepat wanita itu mengambil apapun yang ada didekatnya, emosi menggelapkan matanya, seakan akan semua beban hidupnya menyeruak memaksa keluar tanpa mampu dikendalikan, tongkat sapu yang berhasil diraihnya serta merta diarahkan ketubuh gadis kecil itu dengan gerakan yang mantap.
Tanpa sempat menghindari tak ayal mendaratlah gagang sapu itu di tubuh kecilnya, sekali, dua kali, tubuhnya menegang, hentakan sakit seketika menjalar cepat, refleknya hanya mampu menghantarkan jeritnya diantara tangis dan permohonan ampun atas kesalahannya. Bilur bilur mulai tampak di lengan, paha dan tubuh kecilnya, sakit, panas, gadis itu merintih dengan suara yang hampir habis dari teriakannya yang terus menerus. Wanita itu tak menggubrisnya, dengan sorot mata dingin dilemparkan gagang sapu itu ke tubuh anaknya, dia melakukan dalam diam namun dipenuhi aura kemarahan, tubuhnya berpeluh, tangannya pegal, lalu dia beranjak pergi masih dengan diam namun ekspresi wajahnya mulai melunak, wanita itu hilang masuk kedalam ruang kerjanya.

Sambil terus menangis terisak isak gadis kecil itu membereskan pecahan piring dilantai, badannya terasa kaku, hingga sisa waktu itu dihabiskannya dengan menangis dalam kamar, sampai dia tertidur kelelahan.

"badanku sakit semua, perih, aku takut....maafkan aku...ampun...ampuni aku", sambil bergumam, dia meringkuk menahan sakit, badannya panas, biru biru dan merah berbaur menjadi satu membentuk motif yang tidak lazim ditubuh kecilnya.


Erika usia 10 tahun

Dilihatnya luka menganga di tangan kanannya, bengkak dan masih mengeluarkan darah. Dalam diam dia meringis menahan perih lukanya. Terduduk di depan mejanya, dia menerawangkan mata memandang jauh ke arah luar melalui jendela. Masih teringat dengan jelas kejadian 2 hari lalu, saat lagi lagi kemarahan Ibunya mendarat padanya.

Dia sedang bermain lompat tali diteras depan, sore itu sedang cerah, Ibunya sedang menyiram tanaman. Sambil bersenandung dia melompat lincah diantara tali karet yang dia ikatkan antara tiang rumah dengan kusen jendelanya. teras yang basah terkena cipratan air dari gayung ibunya rupanya membawa petak, tanpa disadari bahaya itu dia tetap melompat dengan riangnya, Gubrakkk..karena terpeleset dia jatuh, kakinya mengenai pot bunga yang berada diatas meja semen disamping taman kecil Ibunya.Pot itu terlempar berhamburan, Ibunya yang berada tak jauh dari tempat itu menjerit terkejut, belum juga dia bangun dari jatuhnya, wanita itu sudah mendatanginya seraya menjewer telingannya, "anak bandel!!apalagi yang mau kamu hancurkan!!kamu pikir semua barang dirumah ini bisa kamu rusak seenaknya anak bodoh!!!, lantang Ibunya di telinganya.

"sakit Ibu..lepaskan tanganku..aduh", jerit gadis kecil itu.
Sanggahan dari anaknya semakin menyulut kemarahannya, sebelum sempat dia melakukan apapun anak itu sudah bangkit dari jatuhnya dan beringsut menjauh darinya. Ditatapnya wajah Ibunya dengan tatapan takut sekaligus tersirat sedikit cahaya mata menantang.
"Dasar anak kurang ajar, kamu mau melawan Ibumu!!sini kamu anak bandel, kamu harus di beri pelajaran!", dengan terengah engah Ibunya berkata sembari berusaha meraih tangan anaknya.

Tak bergeming dari tempatnya berada anak itu masih menatapnya dengan pandangan yang sama. Dalam genggaman tangan kecilnya ada sebuah batu kecil yang sempat dia raih saat dia hendak bangun tadi. Tubuhnya bergetar, pandangannya nanar, antara keraguan dan keberanian berkecamuk di pikirannya. Naluri membela dirinya bangkit.

Wanita muda itu bersiap memukulkan tangan ke arah anaknya, kejadiannya begitu cepat, tanpa sempat menghindar dan menyadari apa yang akan menimpanya sebuah lemparan kerikil mendarat diwajahnya dengan keras. Tertegun sejenak sembari memegang wajahnya yang terasa panas, lalu kemudian dalam sepersekian detik kemarahannya meledak.

Dengan ekspresi penuh kebencian gadis kecil itu menerima pukulan bertubi tubi di muka, kepala dan badannya. Hakekat kasih sayang antara Ibu dan anak lenyap sekejab saat itu, Wanita dengan kemarahannya dan gadis kecil dengan kebenciannya. Gadis kecil itu tidak lagi menangis, tidak lagi menjerit memohon ampun, dia menerima pukulan itu dalam diam, bahkan pada saat dia terjatuh dan tangannya mengenai gunting tanaman disitu sehingga menyebabkan luka robek di tangannya, darah mengalir keluar dengan deras, dia hanya diam kosong menatap tetesan darahnya. Wanita itu terkejut dan menghentikan semua kebrutalannya, darah yang mengalir dari tangan anaknya menyadarkan dia dari kesetanan. Cepat cepat diraih anak itu dalam pelukannya dan dibalutnya luka itu menggunakan kain kasa, diobatinya luka itu dalam kesunyian. Tidak ada kalimat penyesalan maupun isak tangis, namun terlihat penyesalan yang cukup di sorot mata wanita itu. Dalam kesunyian semua berlalu seperti tidak terjadi apa apa.

Kali ini semua diterimanya tanpa ada pertanyaan, tanpa ada air mata, tanpa ada penyesalan. Diusapnya luka itu, dalam benaknya muncul janji pada dirinya sendiri "Luka ini akan jadi saksi hidupku, Luka ini takkan pernah sembuh, Luka ini ada untuk mengingatkanku", dan kelak dikemudian hari bekas luka itu akan menjadi muara luka batinnya.


Erika 11 tahun

Pelajaran sedang berlangsung, seperti anak yang lainnya erika mengikuti pelajaran dengan kidmat. Dia sedang membuat rangkuman yang ditugaskan wali kelasnya kepada semua murid kelas. wali kelas itu sedang berjalan berkeliling mengawasi dan mengamati murid muridnya mencatat, langkahnya terhenti di meja seorang gadis saat dia melihat ada sesuatu yang cukup menarik perhatian ekor matanya,untuk mendekat melihat dengan jelas, dilihatnya bekas luka cukup lebar menonjol putih ditangan yang sedang bergerak lincah diatas buku tulis.
"Loh ini kenapa, kamu jatuh?",
Sembari diusapkan tangannya diatas bekas luka gadis itu.
"Kenapa sampai berbekas seperti ini??sayang sekali, kenapa tidak dijahit?setidaknya agar bekasnya bisa tersamarkan", wali kelas itu berkata dengan penuh kasih sayang.

Gadis itu hanya menggeleng dan menarik tangannya cepat cepat. Sentuhan lembut pada tangannya membangkitkan kerinduannya pada kasih sayang Ibunya sendiri, kasih sayang yang pernah dia nikmati dari awal dia lahir hingga 7 tahun sesudahnya, Dia sudah belajar melupakan kasih sayang itu. Sebuah percikan menghentak kecil di relung hatinya, dia merasakan matanya panas, "permisi bu, saya ijin sebentar kekamar mandi".

"baiklah, silahkan", tukas wali kelasnya.

Sambil berlari dia menuju kamar mandi dibelakang sekolahnya. Kepedihan yang seharusnya keluar setahun yang lalu, air mata yang seharusnya mengalir di hari kejadian itu, tumpah ruah dalam sekejab. dinding pertahanannya jebol seketika, dia masih merasakan sakit yang sama di relung hatinya, bahkan dia masih merasakan perih yang sama di luka itu. Dia menangis terus menerus tanpa berhenti, air mata penghabisan pada hari itu, air mata yang dia simpan setahun yang lalu, segenap jiwanya menangis pilu seperti binatang yang terluka.kali ini dia membiarkan kesedihan menang atas dirinya, kali ini dia membiarkan hatinya menuntaskan apa yang dia tahan rapat rapat selama ini, saat ini dia hanyalah seorang anak kecil polos dengan segala kebersihan hatinya yang dipaksa berada pada kehidupan yang sungguh terasa tidak adil baginya, dan dia belum mampu bertindak apapun atas ketidak adilan itu.Dia dipaksa menerima kepahitan hati yang seharusnya belum saatnya hadir di hari harinya. Sentuhan penuh kasih sayang tadi mengingatkan kerapuhan hatinya, betapa amat sangat dia merindukan kehangatan yang pernah dia rasakan dari seorang yang sangat dia cintai, dari seorang yang pernah menampungnya 9 bulan dalam rahim, dari seseorang yang meneteskan air susu kepadanya, mengalirkan darah kepadanya, memberikan nafas kehidupan untuknya, seseorang yang dia panggil Ibu.

Dia telah belajar mengingkari kerinduannya...dia telah belajar membatukan nurani...dia belajar tuk mampu memantapkan langkah kecilnya di dunia ini...dia yang begitu rapuh namun masih mampu mengumpulkan sisa sisa tenaga untuk tegar dalam kebisuan...dia belajar menangis tanpa mengeluarkan air mata...sayang, terlewatkan olehnya bahwa ia hanya anak manusia semata dengan segala keterbatasan....tetapi dia belajar untuk melupakan keterbatasannya..dia sedang ditempa untuk menjadi tangguh




Kamis, 03 September 2009

kata 17

Kekacauan terjadi dalam sekejab.Ini yang kutunggu-tunggu,mencari perkara dengan orang-orang arogan yang mengatas namakan apapun untuk menghalalkan tindak tanduknya yang memuakkan.

“Brengseeekkk!!!”,jeritku lantang di depan muka senior sialan atas kesewenangannya menamparku. “Kau!!urusanmu denganku belum tuntas,Sampah!!”,lanjutku lagi dengan emosi yang memuncak setelah kedatangan lelaki berkalungkan kamera yang sedari tadi cukup menarik perhatianku, namun tidak seperti perkiraanku bahwa dia akan membelaku laksana lelaki jantan yang melindungi melalui fisiknya, dengan melakukan perkelahian semacam film action yang penuh baku hantam dan menaikkan andrenaline. Dia hanya berkata tenang namun cukup mengusik lawan bicaranya yang merasa terancam akan posisinya yang mungkin sudah tergeser dari sang penguasa menjadi si tersangka.

“Berhenti kalian!!tetap pada barisan!!ini bukan tontonan!!”,teriak panitia ospek kelompok lain.
“Sudah –sudah kita kembali lagi ke kegiatan semula, kamu, jangan macam-macam kamu,taati peraturan di sini!”, sahut panitia lain yang bergerombol seakan-akan mengepungku dengan maksud mengintimidasi aku.
“Aku punya nama,Namaku Erika, peraturan apa yang kakak maksud?!?peraturan untuk semena-mena terhadap MaBa yang kalian anggap anak kemaren sore yang bisa diperlakukan seenaknya?!?”,tukasku tanpa bermaksud memperkeruh suasana,karena sudah kutemukan jalan sebagai permulaan untuk membuat mereka mengingatku kelak, dan kurasa hari ini cukup, betapa menyenangkan memainkan peran baru dalam panggung sandiwara yang kusebut hidup ini.

“Kali ini kamu hanya akan saya catat dalam agenda laporan harian saya, saya harap ini bisa jadi contoh bagi kalian semua untuk tahu bagaimana harus bersikap terhadap senior kalian,bagaimana ubtuk menaati peraturan”, jawab panitia yang aku rasa dia ketua panitia.
Dengan teriakan sekali lagi dari panitia lalu kemudian kerumunan mulai menyebar dan keadaan mulai tenang. Kutatap lelaki itu yang berjalan berlalu tanpa sempat kuucapkan kata Terimakasih padanya. Dia membuatku tersenyum dengan caranya yang dengan biasa pergi seakan-akan tidak terjadi apa-apa, entah bagian dari kepura-puraan atau memang itu caranya “melarikan diri” dari naluri kelelakiannya, ikut campur masalah orang lain yang mungkin bisa disebut karena Iba semata.Entahlah, aku tak perduli apa yang ada dipikirannya, aku hanya tahu bahwa kisah ini tidak akan berakhir sampai disini saja, belum saatnya berakhir pada saat hendak dimulai.

Kegiatan berlalu tanpa bisa kurasa, rupanya pikiranku sedang berkelana dan berusaha membujukku untuk tetap memikirkan episode tadi. Saatnya pulang, sambil bergegas aku menuju pelataran parker namun lahkahku terhenti saat ada seorang perempuan yang tergopoh-gopoh menyamai langkahku.

“tunggu..Erika!kamu ngga apa-apa?”, sambil mengernyitkan wajah tanda kekhawatirannya.
“ Hei, mulai sekarang panggil aku Er..aku lebih suka di panggil begitu”,sahutku dengan tersenyum. Toh hari ini belum berakhir, lakon yang kuperankan pun belum saatnya pergi, ku sebut ini “Topeng perlindunganku”..Dan akan kupastikan tak satupun akan bisa menyadari betapa muaknya aku akan basa basi sosialisasi omong kosong ini.

“oh okey,kamu akan kupanggil Er, mukamu ngga apa-apa?sakit ngga?pipimu merah tuh”, sembari berkata dia hendak memegang wajahku.
“Eh jangan dipegang dong, masih sakit nih, eh siapa namamu?aku lupa hehe”, kelitku menghindari sentuhannya. Jelas aku ingat namanya baik-baik, Sekar, nama yang manis dengan balutan fisik yang mencerminkan namanya yang sangat perempuan sekali dengan pribadi yang cukup hangat. Sepertinya aku bisa memerankan lakonku yang lain dengannya, aku bisa berteman dengannya saat ini, perlu diketahui aku benci berteman tapi aku butuh pemeran lain dalam duniaku ini untuk memantapkan langkahku menghadapi kedepannya akan seperti apa nanti. Cukup sulit, mendadak emosi mulai timbul menggelayuti tiap lapisan tubuh dan hatiku.Aku harus cepat-cepat pulang, rasanya seperti akan meledak!
“sori, aku cuman khawatir dengan keadaanmu, aku Sekar masa kamu udah lupa sih?”, sahutnya dengan mengurungkan niatnya semula.
“ ah iya, kamu sekar, iya deh akan aku ingat-ingat namamu. Udah engga apa-apa kok pipiku, sedikit panas sih tapi biarin deh, udah biasa”, kataku sembari menaiki motorku.
“Keterlaluan banget sih panitianya, mentang-mentang, masa ngga malu sih mukul cewe gitu, dasar cowo!brengseknya ngga pake otak,ngga dikira-kira sapa lawannya, huh!”, kata sekar dengan berapi-api. Sungguh feminine sekali jiwa perempuan ini, sungguh indah namun memuakkan, tiba-tiba aku ingat ibuku, wanita yang sangat lembut dengan segala ketundukannya pada Ayahku yang semakin sering kulihat sifatnya ada di tiap lelaki yang ada dibumi ini.
“ Eh sori, besok kita lanjut lagi deh ngobrolnya, aku buru-buru nih, ada keperluan, sampai jumpa besok ya”, sambil tersenyum kuakhiri percakapanku pada Sekar dengan menyalakan motor dan menjalankannya cepat-cepat.
“baiklah, sampai jumpa lagi Er, ntar sampe rumah di kompres aja mukanya timbang ntar bengkak loh, dagh!”, sahut Sekar tanpa bisa menyembunyikan wajah kecewanya. Dan sepertinya dia juga sudah bergegas menuju motornya. Kasihan, usahanya cukup keras juga tapi persetan!ngga ada yang menyuruhnya berkepribadian hangat yang terkadang malah bikin kecewa si empunya sendiri.

Rumahku sudah terlihat, cepat-cepat ku parkir motorku dan bergegas ke kamarku. Aku rindu kesunyian ini, walau aku malas harus bertatap muka dengan Ibu dan Ayahku.
“Nak, sudah pulang kamu?tadi budhe kesini nanyain kamu, besok kakak sepupumu wisuda, kita datang ya pas acara syukuran nanti”,lugas Ibuku kepadaku.Aku masuk begitu saja ke kamarku, tak perlu kujawab kata-kata beliau, karena aku tahu perkataanya adalah perintah bukan pertanyaan.

Kubanting tasku kulepas semua atribut dibadanku, aku butuh air dingin untuk mengguyur kepalaku yang panas oleh emosi yang serta merta bangkit lagi tanpa kuundang. Bergegas ke kamar mandi adalah pertolongan dini untuk kegalauanku ini. Ku guyur kepalaku hingga ujung kakiku dengan air dingin berulang-ulang. Sialan, aku sudah bertekad untuk ngga akan kalah dengan kelemahanku ini, kelemahan perasaanku yang mungkin sudah takdir untuk semua perempuan memilikinya namun kutolak mentah-mentah sampai kapanpun. Pipiku masih terasa panas, namun lebih-lebih hatiku, panas seperti neraka yang menganga menjulurkan lidah-lidah dan bara api yang begitu merah menyilaukan, menyesakkan. Tanpa sadar air mataku mengalir, walau telah kugigit kuat-kuat bibirku untuk menahan kemarahan berbalut kesedihannku tapi rupanya raga dan seluruh syarafku tidak mau berkompromi padaku. Dengan tubuh kedinginan aku terduduk tertegun menangis dalam diam bahkan tak bisa kubedakan mana yang air mata mana yang air biasa, mereka sama-sama mengalir deras didiriku. Jiwaku terasa bergejolak sedemikian rupa hingga membuatku sesak napas. Aku menangis dalam kesunyian, air mata mungkin tak bisa kutahan tapi jelas isakanku tak boleh terdengar oleh siapapun!Aku bukan menangis karena sakit bekas tamparan tadi, aku juga bukannya menangis karena cengeng, aku menangis karena hatiku sudah tak mampu menampung luapan emosi atas kerapuhannya.

Aku bukanlah Aku seperti yang mereka tau
Ragaku hanyalah raga biasa seperti mereka
Tapi tidak Jiwa dan Pikiranku
Aku hidup atas nama Kebencian
Aku bernafaskan Dendam
Seluruh Syarafku terdiri dari sel-sel Kepedihan
Kelak Kebahagiaanku hanya ada di garis Finish
Dimana Kematian tempat terakhir Aku bermuara
Saat itulah aku akan berselimut Kedamaian



Entah berapa lama aku terduduk diam, karena yang ada di pikiranku hanya muncul kalimat itu yang terus menerus kuucap dalam merenungku seperti tarian pelan malaikat maut dalam melaksanakan tugasnya mencabut nyawa anak manusia secara perlahan-lahan dan memastikan anak tersebut merasakan hidup didetik-detik terakhir melalui kesakitan-kesakitan yang pekat untuk kemudian mencapai ajalnya dengan kepedihan sangat. Ironis.

Rabu, 02 September 2009

kata 16

Untuk Nissa dan Reggie


Pukul tiga lebih sekian,,,aku sudah bersiap-siap menjemput Nissa di kampusnya. kami bertiga bersama reggie sudah seperti saudara, padahal tidak ada jalinan lahiriah antar orang tua kita. Hanya saja kota ini memaksaku untuk mencari kluarga baru disini., sudah 2 tahun lebih kami bersahabat. Nissa, wanita asal jakarta mahasiswa ekonomi kampus tetangga yang doyan banget sama scraft bermotif garis , padahal kami berdua selalu menyakinkan dia kalau koleksi itu hanya akan dinikmati oleh anak cucunya kelak, mengingat kota-kota yang dia singgahi selalu saja beriklim panas!!! Jadi mana mungkin memakai kain rajutan itu di kota seperti ini., Nissa juga satu-satunya model fotoku yang rela Cuma di bayar sama cerita-cerita serem. Aneh memang dia percaya , padahal aku search di internet ada seabrek-abrek cerita misteri dari berbagai sumber, dan anehnya dia masih percaya kalau aku adalah king of story…haha… dasar Nissa.


Waktu menunjukkan pukul 5 sore ,kami masih ngobrol-ngobrol berdua di gazebo kost Nissa, Kalau di lihat-lihat parkiran kost nissa ini sudah seperti lapangan basket dikomplek perumahanku dulu, besar dan kosong. Di sini hanya terlihat 2 buah mobil yang salah satunya milik nissa dan beberapa motor berbaris rapi seperti menunggu antrian service.

“gw heran sama loe, knapa gak bawa mobil aja sih kita sekali-skali?” tanyaku dan Nissa Cuma ketawa lalu menjawab “..kalo bawa mobil, loe ama reggie sama-sama gak bisa nyetir, masa iya gw nyetirin kalian mulu tiap mo pergi?! Enak aja…”.

Waduh, kaya jawaban sindiran gini jadinya.,,“bukan gak bisa nyetir nis, Cuma kan loe tau gw gak punya SIM…hehe” timpal ku penuh pembelaan.


kami masih menunggu kedatangan Reggie dari tempat ia bekerja. Sebagai catatan reggie ini pria yang berasal dari Sulawesi dan sudah tidak kuliah, ia seorang komposer musik,, waduh…. padahal gak se keren itu sih istilahnya. Cuma dia aja yang selalu mengangap dirinya adalah komposer musik. Reggie bekerja di sebuah studio recording music di bilangan kota baru, entah apa tugas utamanya yang jelas dia sesekali mendapatkan uang dari membuat jingle komersil di radio. Pertemuan kami berawal dari….. panjang ceritanya.

Suara knalpot vespa yg khas terdengar dari radius ribuan centimeter dari telinga kami berdua., tidak salah lagi benda brisik itu milik reggie., dia datang dengan kepanikan di wajahnya

”nis, gw numpang pup yak? “ , pertanyaan yang Cuma bisa kita jawab dengan gelengan kepala. Bukan rahasia umum lagi kalau reggie ini sangat terobsesi oleh kecantikan Nissa, sampai-sampai ia rela dengan berbagai cara agar bisa masuk ke Kamar mandi di dalam kamar Nissa, Hanya saja koridor persahabatan kami cukup kuat untuk di tembus gejolak cinta di antara kita bertiga…

“buruan cepet gak pake lama dan gak usah ngarep boker di WC kamar gw,, pake WC pak Hamid aja tuh di belakang” cetus Nissa teriak-teriak ke reggie menyuruh memanfaatkan WC penjaga kostnya . Aku hanya senyam senyum sambil memutar-mutar batang rokok yang entah sudah ke berapa batang sore itu.

***

Saat waktu merubah arti, makna, dan hari..
ucapan selamat berdendang di hati,

Saat waktu merubah warna, sifat dan doa, nyala lilin kecil menerangi bumi..

Tanyakanlah pada Udara, air dan tanah

Jawabnya adalah Sekarang, Besok, atau Lusa

Dan sekarang adalah hari dimana saat itu kau diturunkan

hari dimana kau diberi sebuah harapan


Sebuah kado beralaskan puisi..

Doa tulus jauh menemani sepi..

Ucap untukmu sahabatku..

Selamat ulang tahun Nissa

Tombak.


Entah kenapa suasana yang harusnya bisa kami bertiga nikmati menjadi terdiam, mata Nissa berkaca dan terus menatap secarik kertas ucapan dan kado dariku.

Yak! Hari ini Nissa ulang tahun yang ke-21 dan kami bertiga sepakat merayakan ulang tahun Nissa di sebuah kafe, ini sebuah ritual persahabatan kami tiap ada yang ulang tahun berhak mendapat kado apapun bentuknya. Kesempatan kali ini aku memberikan sebuah kado puisi dan CD- OST Dawson creek dengan harapan CD itu untuk persahabatan dan kebetulan kami bertiga hidup di jaman film seri Dawson creek, jadi tidak terlalu aneh menurutku. Tapi Nissa seperti shock melihat pemberian dariku, entah CD atau puisiku yang salah yang jelas reggie dengan konyolnya bertanya “ nis, loe gak suka CDnya? Sini buat gw, lumayan buat referensi kerjaan gw”. Nissa langsung menatapku dan berkata “ini sama kaya yang pernah gw kasih ke yuda waktu sma dulu”. Kita berdua tau kalo yuda itu bajingan paling kakap di mata kita bertiga. Cuma mana ku tau barang-barang anti yuda di mata Nissa. Just forget it.

1 jam lebih Susana kembali cair dan tiba-tiba terdengar lantunan lagu dari si DJ (sebenernya sih bukan DJ melainkan mas-mas kasir tukang ganti musik) ..


How do I,

Get through the night without you?

If I had to live without you,

What kind of life would that be?

Oh, I

I need you in my arms, need you to hold,

You're my world, my heart, my soul,

If you ever leave,

Baby you would take away everything good in my life,..


Langsung deh reggie nimpalin …


Ennnn tel mi nawwww….. hau du ai lifff widaut yuuuu…


Wah, gak nyangka si Reggie nyanyi kenceng banget, bikin kita bertiga ketawa ngakak dan cepet-cepetan nebak lagu siapa ini. Nissa paling suka kalo udah tebak-tebakan lagu gini, “How do I - Trisha yearwood, OST ConAir” jawabnya. “gila nih anak, kaya winamp jalan” cetus Reggie sambil ketawa.

Hampir 2 jam kita ngobrol-ngobrol tentang banyak hal, sampe nyinggung kesibukan masing-masing. Nissa terus-terusan nanya tentang kuliahku dan kegiatan fotoku di kampus. Ku selalu jawab kalau semuanya baik-baik aja, tapi dia tau kalau ku jawab baik-baik aja itu berarti kebalikannya.

Ya… aku sama sekali tidak betah di jurusan itu, hariku hanya ku isi dengan kalian , film dan kamera jawabku dalam hati. Nissa bertanya lagi tentang hal yang mau kuceritan tadi sore. Ya ampun aku hampir lupa tadi selagi nunggu Reggie aku mau cerita kejadian tadi pagi yang konyol.

Reggie masih sibuk dengan HPnya dan sesekali berkata “ya terus? Terus? Terus gimana?...” dan kubilang “gw hampir berantem tadi pagi” .

Sontak Reggie dan Nissa pandang-pandangan lalu melihat ku seperti orang asing.


“kok bisa wa?”,

“ ya bisa lah”.


Gara-gara kekonyolanku sok jadi pahlawan malah berbuntut bertambahnya musuh.

“tadi, di kampus ada ospek, Cuma kelewatan gitu hukumannya dan gw risih aja sama panitia yang main tangan ke MaBa”

si Reggie dengan bangga bilang

“jadi loe pukulin satu-satu tu panitia? Gile,, bangga gw jadi temen loe..hahaha”.

harusnya sih sampe ke tahap itu, Cuma belum sampe ke sana aku keburu mempermalukan diriku sendiri di depan ratusan calon juniorku dan panitia-panitia yang lain. Di depan mereka ku bilang kalau ini semua tidak penting dan jangan pernah mau tunduk dengan panitia, pola mereka dari tahun ke tahun selalu sama dan akan selalu turun temurun seperti ini. Sontak sebagian MaBa senang akan ucapanku, Cuma tidak sedikit yang tertawa cekikikan mengira ini bagian dari acara panitia…damn! Gak junior gak senior sama saja. Semua senang pertunjukan. 2 panitia menarik halus tanganku, dan terlihat 1 panitia sepertinya menyesal membiarkanku berbicara seperti itu di depan ratusan “MaBa”nya.

Reggie dan Nissa Cuma bengong mendengar ceritaku, mereka sepakat kalau kelakuanku pagi itu memang konyol dan patut di beri applaus dari mereka berdua sembari menutup cerita-cerita kita bertiga. Untung mereka tiak bertanya lebih jauh asal muasal perbuatanku itu……..

Malam semakin larut dan perhelatan ini sepertinya mulai tidak berkualitas dan dengan terpaksa harus di akhiri di jam 23:44.

Untuk kedua sahabat terbaikku . Nissa dan Reggie ku ucapkan terimakasih untuk malam ini.

***

01:15 wib, singgasanaku.

Aku tidak mau beranjak dari sofa ini,

Aku masih terus-terusan membaca buku diary sma ku,

Aku suka melihatmu memakai seragam itu,

Sudah ku coba sebaik mungkin membunuhmu,

Tetapi percobaanku hanya sebatas coba,

Tidak ku lakukan.

Aku membencimu,

Pengacaraku hanya 2 kata itu selama ini,

2 kata yang sulit sekali kukalahkan.

Tapi tidak hari ini,

Aku sepertinya menemukan pengacara baru

Untuk mengalahkanmu,…