Rabu, 02 September 2009

Kata15

Sebelum rasa aneh ini datang, aku mengawali hari kedua OSPEK ini dengan merasakan adanya hentakan-hentakan yang mengiringi langkahku masuk menuju areal kampus. Jadi, mungkin sedikit berbeda dengan hari kemarin, hentakan bertindak seperti pelatuk pistol atau pemacu detak jantung. Aku lebih sigap – tragisnya aku salah kostum.
“Wa..,” kataku, seruan kecil begitu saja meluncur keluar.
Aku tersadar andai aku tak salah memakai kemeja – peristiwa ini tak akan hadir. Kupaksakan mata untuk melihat jelas dalam jarak hampir 300 m. Perlahan aku melihat sinar matahari mulai meninggalkan sosok di atas sana, seolah tirai yang lamat-lamat terkuak. Dia yang berdiri disana bagaikan telah diberi label ”bad boy is cool”. Dengan atau tanpa perlu mendekat.

Aku terhipnotis dengan diriku sendiri, bukan olehnya meskipun dia tidak terlihat jelas tapi aku menangkap rasa ingin tahunya lewat bidikan kamera. Dan aku menghipnotisnya. Aku yakin dia berharap untuk turun dan menemuiku, ia merasa gagah dengan kameranya merasa menemukan life style-nya sebagai mahasiswa idaman. Dia tak lebih tamu yang datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, aku tuan rumahnya. Amat mungkin aku akan menerimanya sebagai tamu yang tak bisa aku terima. Jangan bermain-main dengan Si Periang!

”Matamu melihat apa disana. Pandangan lurus ke depan!! Setelah semuanya nanti selesai kamu belum boleh pulang. Tetap disini bersamaku,” bentak senior yang dari tadi terus-terusan menghardik aku dan teman-teman yang terhukum. Wah, wah, wah. Laki-laki ini kedengarannya seperti Drakula siap mengisap darah. Senior ini seakan punya dendam pribadi terhadapku. Menganggapku tak mengabaikan kalimat-kalimatnya, suaranya terasa membumbung ke angkasa. Aku melihat mereka, manusia laki-laki selalu berupaya menerjemahkan value-nya yang sesungguhnya adalah nihil, upaya memberi harga …… hal yang tak berharga.

”….yang jelas bukan melihatmu, Kak!” jawabku enteng.
”Jangan sok cerdas Kamu..,” terdengar dia jelas sangat marah.
Api baru saja kusulut dengan sengaja. Betul sekali membawa panas dendam dengan orang yang tak kukenal, sungguh aneh. Aku sadar dendam hanya akan meruntuhkan manusia perlahan-lahan. Tapi aku memang tidak suka orang macam ini (walau ia punya hak sebagai panitia untuk ini dan itu….). Aku tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan, justru di dalam hatiku, aku menyumpahinya karena …….
”Kamu belum tahu siapa ketua senat Fisipol?” begitu tambah senior itu dengan mata mendelik.
Tanpa sadar kubawa-bawa surga dalam sumpahku. Di pikiranku, pengakuan yang arogan lebih bau dari tinja manusia. Keberanianku masuk lewat pori-pori ego dan menghujam lewat lidahku…
”Demi Surga, sepuluh tahun kau tak akan lulus, Kak!”
Cukup lantang kata-kataku tadi, seluruh yang berada disitu diam terhenyak.
”Sepatah kata lagi, kau akan kupermalukan di depan umum!” balasnya.
“Silahkan…” balasku lebih keras.
Pllaaaakkk… sebuah tamparan mendarat di pipiku.
Klick!!!...

Aku meringis kesakitan, tapi tidak kugubris. Seseorang datang mendekatiku. Aku mencari-cari dalam tatapannya, lalu muncul rasa yakinku.

Dialah yang berdiri di atas tadi.
Aku melihat dia menggelengkan kepala pada senior yang menamparku tadi. Dan bagaimana reaksi senior tadi? Dia mengambil jarak dan menyingkir tanpa sepatah kata pun. Aku tidak mengerti apa maksudnya gelengan kepala tadi. Dia melihat ke dalam mataku, membalas tatapanku. Dia seolah yakin, tidak salah menolongku!

Kalau benar senior tadi adalah ketua senat, apa yang membuat ia seperti takut pada cowok di dekatnya ini? – aku bingung sendiri namun ada rasa lega dan senang. Karismanya. Ketenangannya. Lebih senior. Aku mencoba menjawab kebingunganku sendiri.

Dia menanggalkan kemejanya kemudian dililitkan di pinggangnya dan naik ke panggung kecil yang berada di depan mahasiswa baru. Tidak peduli apapun yang dipikirkan semua yang ada disitu. Dia menghela napas. Lalu tampak akan berbicara….

2 komentar: